Cari Blog Ini

Kamis, 20 Januari 2011

Pemberdayaan IMP, Rahasia Sukses Program KB Masa Depan

Sebuah kenyataan pahit yang harus kita terima bahwa seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, Program Keluarga Berencana (KB) Nasional yang sebelumnya begitu populer di masyarakat, telah menjadi redup bahkan cenderung mati suri. Konon menurut analisis para pakar dan pemerhati program KB, penyebabnya paling tidak mencakup dua hal. Pertama, komitmen yang lemah pada sebagian besar Kepala Daerah (Bupati/Walikota) terhadap program KB. Terbukti dari 440 kabupaten/kota se-Indonesia, hanya 31 kabupaten/kota yang membentuk Dinas BKKBN secara utuh. Akibat dari kondisi itu, selain menjatuhkan “mental” personil eks BKKBN Kabupaten/Kota, anggaran yang diterima untuk mempertahankan/mengembangkan pelaksanaan program KB menjadi tersendat. Disatu sisi pemerintah pusat sudah mengurangi porsi untuk kabupaten/kota, sementara Pemkab /Pemkot hanya mengucurkan sedikit sekali anggaran untuk program KB. Sekedar sebagai bentuk “pengakuan” bahwa program KB masih ada di wilayahnya, tanpa mempertimbangkan efek lebih jauh akibat melemahnya program KB di daerah.
Kedua, dengan alasan pemberdayaan potensi, peningkatan karir atau menempatkan PNS sesuai latar belakang pendidikan dan lain-lain, tidak sedikit Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) potensial yang dipindah/dialihtugaskan ke dinas/instansi/SKPD lain tanpa ada penggantian tenaga penyuluh yang layak dengan kemampuan sebanding dengan sebelumnya. Akibat pergeseran tugas/alih fungsi PKB ditambah yang pensiun atau meninggal, petugas lapangan yang memiliki tugas pokok menyosialisasikan program KB tersebut berkurang hingga 35%, dari sekitar 36 ribu pada tahun 2003 menjadi hanya 17 ribuan pada saat ini.
Dampak langsung yang dapat dilihat dari kedua faktor penyebab tersebut, selain intensitas pembinaan program KB di lapangan oleh PKB menjadi jauh menurun, kreativitas untuk mengembangkan program KB agar semakin dinamis dan diterima masyarakatpun seakan terhenti. Sementara kreativitas dan inovasi kegiatan serta cara-cara KIE Konseling yang efektif dan mengena di awal tahun 1980 – 1990 an menjadi semacam “ikon” BKKBN yang banyak ditiru oleh instansi lain karena terbukti efektif untuk menggugah kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap program KB. Akibatnya sekarang ini sudah cukup terasa. Selain seperti kehilangan roh, program KB tidak lagi banyak bergema di masyarakat atau nyaris tak terdengar. Sehingga bila kondisi ini tetap dibiarkan tanpa ada upaya penanganan serius dari pemerintah kabupaten atau kota mulai saat ini, Program KB Nasional lambat laun akan “ambruk” dan menjadi bahan cemoohan lebih dari 40 negara di dunia yang pernah belajar KB di Indonesia melalui paket International Trainning Programme (ITP).
Bukan hanya itu, akibat yang lebih besar dan membahayakan telah menunggu, yakni ancaman ledakan bayi (baby boom) kedua. Menurut Kepala BKKBN Pusat, Dr. Sugiri Syarief, MPA, ancaman ini tidak mengada-ada. Karena sinyalemen ke arah sana mulai terasa, bila pertambahan penduduk per tahun periode 2000 hingga 2005 diprediksi hanya sekitar 3 juta, sekarang ini telah meningkat menjadi 4,3 juta jiwa per tahun dengan karakteristik TFR yang cenderung naik. Yang lebih menyedihkan lagi, dalam lima tahun terakhir, kesertaan masyarakat dalam ber-KB hanya meningkat rata-rata 0,5%. Dalam kondisi yang demikian, bila program KB tidak segera digalakkan dan digiatkan kembali, di tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia telah menjadi 255,5 juta jiwa.
Akibat lebih jauh, penduduk miskinpun dipastikan bertambah. Bila kita cermati, jumlah pendiduk miskin sekarang ini telah mencapai lebih dari 60 juta jiwa. Bisa dibayangkan pertambahannya bila pertumbuhan penduduk negeri ini bila makin tak terkendali. Bukan tidak mungkin sebagian besar dari penduduk dan keluarga di Indonesia akan jatuh miskin. Sementara kemiskinan selalu identik dengan ketertinggalan, keterpurukan dan kebodohan. Suatu kondisi yang sedapat mungkin harus kita hindari disaat era globalisasi telah bergulir ke segenap sendi-sendi kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Persoalannya, dengan cara apa program KB di masyarakat dapat digalakkan, bila komitmen politis pemerintah daerah terhadap program KB telah terlanjur melemah, sementara tenaga penyuluh terus menyusut dari tahun ke tahun? Menurut hemat penulis, selain merubah visi misi maupun strategi program yang sudah dilakukan, ada dua langkah mendasar yang sangat urgen untuk segera dilaksanakan oleh pemerintah khususnya oleh institusi BKKBN di tingkat kabupaten (walau dengan nomenklatur yang berbeda), propinsi maupun pusat, yakni mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi PKB melalui pola pembinaan, pelatihan, dan renumerasi untuk membangun kembali “semangat” menyuluh yang sempat drop serta dengan lebih memberdayakan kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP).
Mengapa IMP? Ada tiga alasan logis yang dapat dikemukakan: Pertama, kader IMP yang terdiri dari Koordinator PPKBD, PPKBD, Sub PPKBD dan Kelompok KB-KS selama ini diakui memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung suksesnya Program KB Nasional. Selain jumlah personilnya begitu banyak (untuk seluruh Indonesia mencapai tidak kurang dari 1,23 juta kader IMP), keberadaannya telah mencakup seluruh desa, dusun hingga tingkat RT yang ada di 33 provinsi, 440 kabupaten/kota dan 5.278 kecamatan. Ini dapat dijadikan motor penggerak program KB yang cukup efektif karena setiap kader IMP telah memiliki wilayah binaan masing-masing secara berjenjang seperti Koordinator PPKBD memiliki wilayah binaan satu desa, PPKBD satu dusun, Sub PPKBD dan Kelompok KB-KS satu RT. Jadi tidak ada satu wilayah pun di Indonesia yang tidak terjangkau oleh pembinaan kader IMP.
Kedua, kader IMP adalah pekerja sosial yang tangguh. Keberadaannnya pun juga sudah diakui oleh pemerintah dan masyarakat seiring dengan terbitnya SK Kepala Desa atau Camat tentang keberadaan institusi ini di semua wilayah. Bukti bahwa mereka merupakan pekerja sosial yang tangguh, mereka tetap bekerja dengan tekun dan penuh keikhlasan walaupun tidak digaji. Karena mereka sadar, menjadi kader IMP tidak dapat dijadikan media atau jalan pintas untuk mencari uang/materi, tetapi lebih cenderung ke arah mencari “amal” untuk kebaikan masyarakat dan kehidupan pribadinya kelak di zaman yang lebih abadi (akhirat).
Ketiga, kader IMP telah memiliki format peran terhadap program KB yang begitu jelas dan benar-benar diresapi oleh setiap kader IMP. Format peran tersebut dikemas dalam bentuk “Enam Peran Bakti Institusi”. Enam peran bakti institusi ini telah menjadi semacam motor penggerak secara jiwani bagi kader IMP untuk mengaktualisasikan jiwa sosial dan empatinya terhadap kesejahteraan keluarga dan masyarakat yang diyakini dapat dicapai melalui program KB. Keenam peran bakti yang dimaksud adalah: (1) Pengorganisasian, (2) Pertemuan, (3) KIE dan Konseling, (4) Pencatatan Pendataan, (5) Pelayanan Kegiatan, dan (6) Kemandirian. Melalui pintu enam peran bakti tersebut, kader IMP mengabdikan diri kepada masyarakat dan keluarga sasaran yang dilandasi oleh jiwa kepedulian dan rasa tanggungjawab. Dengan demikian, seseorang yang telah menyatakan diri menjadi kader IMP dan benar-benar konsisten terhadap komitmennya (baik tanpa atau dikuatkan dengan Surat Keputusan Kepala Desa/Camat), mereka adalah kader-kader masyarakat yang tangguh dan tidak takut terhadap tantangan dan hambatan yang ditemui, seberapapun beratnya, walaupun secara pribadi telah menguras waktu, tenaga, biaya dan pemikirannya.
Ini jelas menjadi modal utama sekaligus potensi luar biasa yang dapat dimanfaatkan oleh jajaran eks BKKBN Kabupaten/Kota khususnya, untuk tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan program KB di lini lapangan meskipun kewenangannya telah jauh menyusut dibandingkan era sebelum otonomi daerah diberlakukan. Untuk mengoptimalkan peran mereka kuncinya hanya ada dua, yakni PKB harus sering-sering mengunjungi mereka dan melakukan pembinaan serta jangan sekali-kali menyakiti/menyinggung perasaan mereka. Alasan sederhana yang dapat kita kemukakan adalah bahwa kader IMP itu ibarat mesin sepeda motor. Manakala mesin itu dirawat dengan baik dan tidak diutak-utik hingga beberapa bagiannya menjadi rusak, mesin tersebut akan tetap hidup, berjalan dan memberi manfaat yang optimal kepada pemiliknya. Itu artinya, kader IMP tetap dapat dijadikan ujung tombak penggerak/pengelola program dibasis masyarakat manakala para pembinanya yang dalam hal ini adalah penyuluh KB tahun bagaimana cara ‘memperlakukan” kader IMP agar tetap optimal memainkan perannya. Jadi kader IMP adalah potensi yang sangat luar biasa untuk pengembangan program KB di masa depan yang tidak dimiliki oleh Dinas/Instansi /SKPD manapun di tingkat kabupaten/kota.
Memang, pemberian reward bagi kader IMP dalam bentuk uang operasional, honor, atau piagam penghargaan atas jasa dan perannya, perlu dipikirkan dan direalisasikan dalam era mendatang. Tetapi itu tidak terlalu tergesa-gesa dan dapat dilakukan secara bertahap. Apalagi reward tersebut dapat disiasati dengan mengembalikan segala sesuatunya kepada masyarakat dan keluarga sasaran, yang telah banyak dibantu dan dilayani melalui program dan kegiatan yang bermanfaat. Tinggal bagaimana pihak penyuluh KB mampu mengadvokasi para tokoh masyarakat, tokoh agama maupun organisasi kemasyarakatan di tingkat lini lapangan (termasuk PKK) untuk meyakinkan sekali lagi bahwa program KB untuk kebaikan mereka yang berarti pula menjadi kebutuhan keluarga dan masyarakat. Advokasi juga perlu diarahkan pada para tokoh formal, mulai dari Camat, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RW hingga ketua RT, agar mereka memiliki pandangan yang positif terhadap KB dan bersedia membantu kader IMP sesuai dengan kewenangan mereka. Misalnya, seorang kepala desa menganggarkan operasional kader lewat APBDes, seorang Kepala Dusun, Ketua RW dan RT mengusulkan pada warganya untuk menyisihkan sebagian dari kas dusun, kas RW atau kas RT untuk kepentingan operasional kader IMP di wilayahnya, dan sebagainya.
Sekarang ini upaya mengoptimalkan peran kader IMP dalam rangka menggiatkan/menggerakkan kembali program KB dapat dilakukan dengan menumbuhkembangkan forum komunikasi kader IMP baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan. Dengan adanya forum komunikasi ini dan dikuatkan dengan SK Bupati/Camat, kader IMP dapat lebih leluasa bergerak, saling berkomunikasi, berimprovisasi maupun berkreasi untuk menciptakan kegiatan-kegiatan yang memiliki kontribusi positif program KB, termasuk kegiatan yang punya “nilai jual” misalnya menyelenggarakan seminar, loka karya, orientasi, pendidikan/pelatihan dan sejenisnya dengan menggandeng pihak-pihak lain yang memiliki kompetensi. Melalui kegiatan ini, forum dapat menggali dana lewat kontribusi peserta dan donatur yang tidak mengikat.
Memang jalan menuju kondisi ideal masih cukup panjang, apalagi di era yang serba sulit sekarang ini. Tetapi pemberdayaan kader IMP di masa sekarang dan yang akan datang meupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar, bila kita tetap menginginkan program KB di negara kita kembali bergairah serta memberi manfaat lebih pada masyarakat dan keluarga sasaran. Sekarang tinggal bagaimana, para pengambil kebijakan program KB di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota bersikap dan berkreasi untuk mengemas sistem atau model pemberdayaan yang efektif yang mampu mengaktualisasikan segenap potensi dan kemampuan masyarakat untuk dapat lebih memberdayakan kader IMP, karena telah disadari bersama bahwa kader IMP nyata-nyata menjadi penentu keberhasilan pengelolaan program KB di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar